Friday 25 November 2011

Dari Ibrahim Kita Belajar Sebuah Keteladanan


Ketika sampainya di Mina mimpi itu hadir kembali. Demikian pula saat ia menginap di Arafah mimpi itu tetap serupa. Bahwa Allah perintah Ibrahim untuk sembelihkan anaknya. Bukan pilihan yang mudah memang, saat Allah perintahkan Ibrahim untuk korbankan anak semata wayangnya, Ismail. Seorang anak yang telah lama dinantinya. Tapi perhatikanlah dialog cinta ini.
“Maka ketika sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha, Ibrahim berkata: Hai anakku aku melihat (bermimpi) dalam tidur bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah bagaimana pendapatmu” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Ash-Shaffaat: 102).
Apakah Ibrahim tidak mencintai anaknya? mengapa Ia tidak meminta jeda kepada Allah agar perintah itu di tangguhkan saja. Tidak. Semua itu karena keimanan dalam dirinya telah sempurna. Ibrahim telah meletakkan cintanya kepada Allah di atas segala-galanya. Janji Allah telah cukup menguatkannya.
Maka, di jabal Qurban, tak jauh dari kediamannya. Ibrahim membawa Ismail untuk tunaikan perintah Allah itu. Meski di ujung sana Iblis terus bujuk Siti Hajar agar Ibrahim urungkan niatnya. Tapi, tekadnya telah bulat. Cinta Ibrahim pada Allah telah menembus sekat-sekat keduniaannya. Ia mengerti betul bagaimana semestinya meletakkan cinta itu. Cinta yang hakiki. Dan akhirnya Langit pun menyaksikan wujud cinta Bapak para Nabi ini. Perintah Allah itu ditunaikannya.
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan Kami panggillah Dia: “Hai Ibrahim, “Kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar “. (Ash-Shaffaat ayat 103-107).
Inilah kisah cinta yang paling suci. Dari sekian drama cinta yang kita kenal. Sebuah cinta yang tak biasa. Sebuah cinta yang tak hanya sebatas terucap di lisan. Tak sekedar terbesit di hati. Dari Ibrahim sebenarnya kita belajar banyak tentang sebuah keteladanan, bagaimana semestinya kita mencintai Tuhan.

No comments:

Post a Comment